Gowes kali ini untuk memanfaatkan selang waktu dari pagi sampai siang hari sebelum menengok bocah lanang di Ponpes Husnul Khotimah 2 Pancalang. Tujuan awal sebenarnya adalah Bukit Lambosir, tetapi karena ada halangan di tengah jalan akhirnya tujuan akhir adalah Stasiun Penelitian Bintangot.
Sehari sebelumnya sempat mencicipi trek sepanjang 4km di seputar Desa Pancalang. Kesimpulannya, saya menyesal karena setelah Emil mondok hampir satu setengah tahun di Pancalang baru kali ini diriku membawa sepeda. Pancalang dan sekitarnya adalah tempat paling bagus untuk gowes XC dengan lintasan yang gowesable, kontur yang naik turun, sepanjang trek menghijau dengan rimbun pepohonan buah-buhan maupun tanaman keras, di beberapa lokasi juga terdapat sawah menghijau yang bisa ditanami sepanjang tahun.
Berawal dari Kharisma Homestay, jam 06:05 diriku mulai mengayuh sepeda tua Polygon Xtrada 4.0. Belakang Polsek Pancalang adalah salah satu spot yang wajib dilewati untuk menikmati Gunung Ciremai di pagi hari. Selanjutnya mengarah ke perempatan Pancalang yang mengarah ke Kahyangan/Patalagan untuk mendapatkan lagi spot Gunung Ciremai dengan hamparan sawah menghijau. Spot ini telah kutandai sore hari sebelumnya dan pagi ini kembali menyajikan pemandangan Gunung Ciremai yang indah. Nokia 5.1 dan Canon Powershot G15 pun beraksi.

Sawah di Pancalang dengan latar Gunung Ciremai
Pagi itu udara terasa sejuk sekali dengan sedikit hembusan angin di pagi hari. Sepeda kuarahkan ke Desa Cibeureum sebelum Leuweung Monyet. Berdasarkan analisa Gmaps di perempatan Cibeureum diriku mengambil arah ke kanan. Nah di sini kita akan segera disambut oleh tanjakan yang cukup curam. Lalu setelah bertemu perempatan lagi mengambil arah ke kiri ke Jalan Kehutanan. Ini adalah trek makadam yang seru dengan rindangnya pepohonan di kiri dan kanan.
Menurut Gmaps dari jalan Kehutanan ini terdapat jalan yang langsung menanjak menuju Bukit Lambosir. Jalan ini langsung memotong punggung bukit dengan elevasi yang cukup miring. Di pangkal jalan terlihat bahwa jalan ini jarang dilewati. Meski demikian Xtrada 4.0 kuarahkan ke jalan ini langsung menanjak. Begitu sampai di atas ternyata jalannya makin menyempit oleh semak beluka dan aspal banyak yang rusak. Karena di Gmaps tergambar jelas maka jalurnya tetap kuikuti. Semakain lama jalan besar berubah menjadi single trak dengan semak dan perdu yang semakin tinggi. Di beberapa bagian tampak bekas tebasan parang untuk membuka jalan. Sepertinya ada yang kembali membuka jalan ini. Di kiri dan kanan tampak jalur-jalur kecil yang mungkin merupakan jalur babi hutan.

Single track

Cirebon dan Laut Jawa di kejauhan
Semak dan perdu semakin rapat sehingga tidak mungkin lagi untuk menggowes karena pedal dan handle bar tersangkut-sangkut ranting di kanan dan kiri. Sepeda kudorong sambil sesekali menyibak semak dan perdu. Lalu jalan terputus oleh rimbunnya pepohonan kaliandra dan ranting-ranting dan dahan-dahan yang patang menghalangi jalan sehingga harus memutar. Bekas aspal masih terlihat sehingga membantu orientasi arah. Sampai akhirnya semak dan perdu benar-benar menutup jalan sehingga tidak mungkin lagi bahkan untuk sekedar mendorong sepeda.
Jalan yang tertutup rapat dan bekal air yang hanya dua botol membuatku memutuskan untuk kembali ke bawah. beruntung sekali gowes kali ini diriku memakai celana panjang dan lengan panjang. Begitu kugowes turun ranting-ranting dan dedaunan dari semak-semak dan perdu mulai menggores kaki dan tanganku. Sebagian bahkan mencapai leher. Jersey favoritku dari event Gowes Kolozal 18 pun terkoyak di beberapa bagian lengan membuat serabut benangnya keluar dari tenunan.

jalan buntu
Impact dari turunan dan jalanan makadam membuat roda belakang kendor. Rupanya ketika memasang QR kurang kencang. Beruntung rodak terlepas saat diriku berhenti menggowes ketika memutar sepeda untuk putar arah. Andai roda copot ketika sedang dinaiki pasti akan jadi bencana.
Membaca Gmaps lagi tampak ada rute kedua untuk mencapai Bukit Lambosir. Penasaran kuikuti lagi jalannya. Ternyata juga buntu. Sepertinya memang belum beruntung. Lalu sepeda kuarahkan untuk turun ke arah Mandirancan melewati perkebunan kopi. Ketika menengok ke kiri mataku tertuju kepada tegakan pohon-pohon pinus di kejauhan. Wahhh.. ini pasti seru.

Batas TNGC
Sepeda kuputar lagi ke arah persimpangan kebun kopi dan mengarah ke hutan pinus. Subhanallah …. ini adalah salah satu hutan pinus paling lebat dan rapat yang pernah kulihat. Hembusan angin menghasilkan suara menderu, khas suara hutan pinus. Diriku pertama kali mendengar deru hutan pinus ketika di Ngadas, Poncokusumo dalam perjalanan menuju Ranu Pani dan Bromo.
Ada plang peringatan “Dilarang Masuk Tanpa Ijin Petugas”. Lalu terdapat sebuah portal terkunci yang dengan mudah diterobos dari sisi kanan dan kirinya. Menurutku plang ini sekedar formalitas untuk memberi tahu pengunjung atau siapapun yang lewat bahwa mereka kini sedang memasuki tanah negara. Rimbun dan rapatnya pepohonan selain mengesankan juga sedikit menakutkan. Hutan mulai ramai dengan suara burung dan serangga. Di pinggi hutan sempat bertemu bapak yang sedang mencari dedaunan untuk pakan kambing.
Track makadam yang hancur dengan batu-batu yang lepas dan basah membuat pedalling dan handling menjadi sulit. Di beberapa segmen terpaksa harus turun dari sadel dan menuntun sepeda. Masih ada sinyal dan lintasan gowes masih tergambar di peta. Ketika sampai di sebuah pertigaan dengan sebuah pohon raksasa, sayup-sayup kudengar suara motor trail. Ternyata ada juga yang mengikuti di belakangku.


Navigasi lagi dengan Gmaps. Di pertigaan ini terdapat dua opsi antara turun ke Seda atau lanjut ke Stasiun Penelitian. Kuputuskan untuk melanjutkan ke Stasiun Penelitian karena menurut Gmaps sudah tidak jauh lagi dan diriku masih memiliki sebotol air.
Setelan berjibaku dengan trek makadam yang licin dan batu-batunya berhamburan akhirnya sampai juga di Stasiun Penelitian Bintangot. Stasiun ini merupakan hasil kerja sama antara Balai Tamana Nasional Gunung Ciremai, Pertaminan Jatibarang dan IPB. Dari Stasiun ini kita bisa memandang ke arah dataran rendah Cirebon. Persis di samping Stasiun Penelitian tampak jalur Downhill yang konon dipakai untuk kejuaraan Enduro.

Sah! @780mdpl

Stasiun Penelitian Bintangot – Taman Nasional Gunung Ciremai
Setelah mengambil foto-foto akhirnya diriku kembali. Begitu sampai di pertigaan pohon besar tadi diriku bertemu dengan rombongan yang kukira motortrail ternyata adalah rombongan Vixion berenam. Di antaranya terdapat satu cewek. Konon katanya hendak ke Bukit Lambosir melalui stasiun penelitian. Memakai motor ternyata tidak lebih ringan daripada bersepeda karena memang jalannya rusak sekali. Sempat ada dua motor yang terjatuh.
Setelah ngobrol sebentar dengan ketua rombongan, Kang Omeng, diriku kembali melanjutkan perjalanan. Dan inilah bonus turunan yang tanpa tanjakan sma sekali. Jalanan mulus sangat gowesable. Rem harus pakem dan harus mengendalikan kecepatan. Di tengah perjalanan diriku bertemu dengan rombongan yang lagi diloading dengan pickup. Selanjutnya bertemu lagi dengan tiga goweser memakai sepeda AM yang hendak ke Lambosir. Saluutt!! Dari Cirebon tanpa loading dan sedang berjuang menaklukkan tanjakan Seda yang terkenal curam. Setelah ngobrol sebentar dengan Om Alvin lanjut menggowes lagi.
Dalam perjalanan balik ke Pancalang via Mandirancan terdapat dua spot menarik. Pertama adalah sawah menghijau dengan latar Gunung Ciremai, Kedua adalah kebun ubi dan sawah dengan latar perbukitan. Sangat ikonik dan mewakili tipikal gambar sawah dan gunung seperti gambar anak-anak SD 🙂

Gunung Ciremai

Ubi jalar dan padi

Sebentar lagi panen
Hauuss..!!! Berharap bisa minum air kelapa muda di tepi sungai Cipager untuk mengembalikan elektrolit yang hilang bersama keringat. Ternyata warungnya tutup meski nampak beberapa tandan kelapa muda diluar warung. Akhirnya meski kehausan dipaksakan untuk melibas tanjakan terakhit antara sungai Cipager dan pertigaan menuju GI Mandirancan.
Puaasss!! Bertemu trek baru yang sangat menarik dan menantang. Lain kali pasti akan membawa sepeda dan gowes lagi di seputar Ciremai.

Strava: Pancalang – Bintangot (PP)